BBM mau naik seberapa tingginya pun ga masalah selama ga pada "KORUP"
kalo menurut saya pribadi, salah demo mbahas BBM, yang ada gmana agar ga pada "KORUP" termasuk kita nanti kalo sudah menggantikan mereka-mereka yang sekarang memimpin?
bagaimana???
NO ANARKI , YES PRESTASI
Rabu, 28 Maret 2012
sedikit doa ku
hey kau yang ada di depan, dia yang ada di samping..mereka yang ada di atas, kau yang ada di pojok, dia yang di pinggir, anda yang ada di bawah dan diriku sendiri..mari sejenak kita tundukan kepala, seraya berdoa kepada Tuhan YME..semoga negeri tercinta ini...TANAH AIR INDONESIA
sembuh dari sakitnya, bangkit dari tidur, maju dari jalan di tempanya..amin
#PADA MU NEGERI, KAMI MENGABDI#
Selasa, 13 Maret 2012
Guru yang Pancasilais
MAKALAH
PENDIDIKAN PANCASILA
“MENJADI
GURU YANG PANCASILAIS”
Disusun
oleh :
ALVIAN
HIDAYAT
11413244011
DILOGI
11/B
KISAH GURU TERPENCIL
Jauh dari istri, tidak ada listrik, sinyal handphone
sangat jelek dan tidak ada jaringan internet. Sempat ragu menjalankan tugas
sebagai guru di SMP 3 Satu Atap Sobang, Kabupaten Lebak-Banten, namun akhirnya
menjadi sosok yang memberi hiburan, membuka wawasan, dan pemikiran bagi
anak-anak juga masyarakat sekitar, lewat komunitas baca Multatuli.
Komunitas baca itu, bertempat di Kampung Ciseel, Desa
Sobang, Kecamatan Sobang, tempat dia tinggal di sela-sela menjalankan tugasnya
sebagai guru Bahasa Indonesia. Bapak guru itu namanya Ubaidilah Muchtar. Pak
guru Ubai begitu dia biasa dipanggil oleh anak-anak, adalah alumni Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) yang lulus tahun 2004. Mahasiswa angkatan 1999 itu,
dikenal sebagai aktivis mahasiswa, Pernah menjadi ketua Himpunan Mahasiswa
Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia, aktif di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan
(UKSK), menghadiri sejumlah aktivitas diskusi, seperti layaknya aktivis kampus
di Kota Bandung.
Setelah lulus, sempat menjadi relawan LSM selama dua
tahun. Pada tahun 2009, menjadi guru di Kabupaten Lebak. Semula laki-laki yang
tinggal di Depok itu ragu, dan kabarnya menangis, melihat kondisi dimana dia
ditempatkan. Sempat tidur di masjid, menumpang di sekolah, dan kemudian
laki-laki itu memutuskan tinggal di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan
Sobang, lokasi tempat dia tinggal sekitar 50 kilometer dari Kota Rangkasbitung
atau sekitar 8 kilometer dari sekolah.
Ke Kampung Ciseel, dari Jakarta naik Kereta Api
Jakarta-Rangkasbitung, turun di Rangkas, kemudian melanjutkan naik elf ke pasar
Ciminyak sekitar satu jam. Kemudian naik ojeg dari Pasar Ciminyak ke Ciseel
Rp30.000-40.000. Tidak ada angkutan kota, kecuali ojek yang tukangnya harus
mempunyai keahlian khusus, karena jalannya turun naik, lebarnya 1,5 meter,
disisi kiri jalan curam sekitar 15 meter ke dalam.
Dorongan
dari istri yang bernama Linda Nurlinda selalu menguatkannya, Ubai bertahan,
jiwa aktivis; berbagi dan membangun masyarakat kembali muncul. Sebagai orang
yang mencintai sastra, dia mendirikan komunitas baca, 23 Maret dan diberi nama
nama Multatuli. Koleksi buku taman baca Multatuli pada mukanya hanya setumpuk
buku koleksi Ubai. Tempatnya, di rumah Syarif Hidayat Ketua RT di Kampung
Ciseel, tempat Ubai tinggal.
Taman Baca Multatuli, sekarang berkembang menjadi taman
bacaan anak-anak. Mereka membaca novel Saidjah-Adinda, mereka membaca buku yang
dibawa oleh Ubai dan sumbangan dari sejumlah orang yang senang dengan aktivitas
guru muda tersebut, Anak-anak kampung pun semakin terbuka pemikiran, juga
karakternya.
Sekarang, banyak anak-anak di Kampung Ciseel yang
terhibur dengan membaca buku, banyak yang bercita-cita meneruskan sekolahnya,
kalau jadi pejabat bersumpah tidak akan menindas rakyat. Bersumpah, akan
membangun Lebak. Bersumpah, kalau berhasil bukan untuk dirinya saja, namun
untuk lingkungan yang lebih besar. Catatan perjalanan anak-anak Taman Baca
Multatuli, kabarnya akan dibukukan. Kita tunggu.
Barangkali Ubaidilah adalah sosok guru yang bukan hanya
mengajar anak-anak di ruang kelas, juga di lingkungan masyarakat demi
meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Ubai telah jatuh cinta, dan membuang
jauh-jauh mimpi untuk mengajar di kota, dia hanya meminta doa, agar Komunitas
Baca Multatuli dan semangat mendidiknya tetap berkobar.
***
***
Kecamatan Angsana sekitar 68 KM dari kota Kabupaten
Pandeglang, dari Ibu Kota Kecamatan sekitar 13 kilometer, menuju Desa
Padaherang, disanalan terletak SMPN 2 Angsana. Jalannya berbatu diliputi tanah,
kalau musim hujan jalanan berlumpur, terpaksa harus jalan jalan kaki.
Sutisna sejak tahun 2009, ditugaskan di SMP tersebut. Dia
salah satu alumni Universitas Pasundan Bandung, Jurusan Pendidikan Pendidikan
Kewarganegaraan. Di sekolahnya jumlah guru PNS ada tiga orang plus Kepala
Sekolah. Kondisi ini kembali menunjukan bahwa sekolah-sekolah yang terletak di
pelosok, banyak terkendala oleh jumlah guru yang minim. Sejumlah SMP, terutama
SMP Satap, masih ada yang hanya mempunyai satu orang kepala sekolah dan satu
orang guru.
Menjawab persoalan kurangnya guru, biasanya sekolah
mengangkat guru honorer, namun diantaranya tidak sesuai kualifikasi. Selain itu
jumlahnya pun masih kurang sebanding dengan beban tugas. Tak heran bila banyak
guru di tempat terpencil, mengajar sampai 50 jam seminggu. Sering pula guru di
kampung mengajar beberapa bidang studi. Kalau di Kota, tentu saja banyaknya jam
mengajar berkorelasi dengan tambahan pendapatan, kalau di kampung? Jangan
terlalu berharap karena SPP saja banyak yang menunggak.
Pada
mulanya, Sutisna mengaku sempat ingin menangis, melihat lokasi dimana dia
ditugaskan. Namun, sekarang tidak lagi. Dia merasa jatuh cinta. Dia merasa
disana ada sesuatu yang diperjuangkan, menyadarkan pada masyarakat tentang arti
pentingnya pendidikan. Pasalnya masih banyak masyarakat menganggap bahwa
mencari uang lebih penting dari sekolah, mereka lebih suka anaknya pergi ke
sawah atau ke Jakarta sebagai pembantu rumah tangga, dan pekerjaan kasar lain,
persis seperti yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Sutisna menjadi semakin
sadar, mengajar tidak hanya di ruang kelas, tidak hanya berhenti ketika bel
pulang berbunyi. Kadang Sutisna menerima kedatangan anak-anak yang ingin
belajar tambahan seperti Bahasa Inggris, dan keterampilan lain seperti
komputer. Tidak dibayar memang, namun anak-anak mengerti, mereka juga membantu
Sutisna, ada yang memasak atau membereskan rumah. Disela-sela itu, Sutisna
sering memotivasi anak-anak untuk melanjutkan pendidikan.
Pak Guru Sutisna juga biasa keliling kampung, dari rumah
ke rumah silaturahmi sambil menyadarkan orangtua betapa pentingnya pendidikan
anak-anak mereka. Sesuatu yang amat membahagiakannya, ketika beberapa dari anak
didiknya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
“Sebuah kebanggaan, ketika masyarakat semakin sadar akan
arti pentingnya pendidikan,” kata dia.
Di tempat lain, kita menemukan kadang guru di daerah
perkotaan di sebuah SMA Negeri/SMP Negeri menumpuk. Beberapa guru, terpaksa
tidak mengajar sesuai bidangnya. Kadang, untuk keperluan kenaikan pangkat yang
mensyaratkan minimal guru harus mengajar 24 jam, pihak sekolah memanifulasi
data, yang penting tercetak 24 jam dan mata pelajaran sesuai dengan ijazah.
Pemerataan guru sangat penting, lebih-lebih di kampung
dimana sarana dan prasarana sekolah sangat kurang. Sekolah kebanyakan hanya
ruang-ruang kelas, persinggungan kemajuan teknologi informasi pun sangat minim.
Bila di kota anak-anak sudah terbiasa dengan internet, karena menjamurnya
warnet, di kampung bisa jadi hanya mimpi. Bila di kota laboratorium untuk
mendukung proses pembelajaran lumayan ada, di daerah pelosok rata-rata baru
sebatas mimpi.
Bila saja guru menyebar, bisa jadi pembelajaran akan
menjadi lebih efektif, sayang banyak guru yang tidak betah melakoninya. Segala
usaha dilakukan oleh sejumlah guru yang tidak mau ditempatkan di daerah
terpencil, termasuk mengeluarkan sejumlah uang.
Pemerintah memang beberapa tahun ini sudah mengeluarkan
kebijakan untuk memberi tambahan penghasilan bagi guru yang bertugas di daerah
terpencil, namun tidak semuanya mendapatkan. Selain memperhatikan
kesejahteraan, pemerintah juga harus menertibkan pemerataan guru agar bisa
bertahan bertugas di daerah terpencil, karena tidak mungkin kualitas tercapai
sementara ruang-ruang kosong karena tidak ada guru yang mengajar. Peraturan
mestinya ditegakan.
Sehingga
guru tidak kabur, sistem rotasi juga mesti diberlakukan agar guru tidak hanya
menumpuk di kota. Sehingga guru dari daerah terpencil pun bisa mutasi ke kota
atau sebaliknya, sehingga ada pengalaman yang banyak dalam mengajar.
Pak Guru Ubai, Pak Guru Sutisna, adalah sosok guru yang
mengabdi di daerah terpencil, walau pun tentu masih banyak yang lebih terpencil
dari mereka, dengan cerita heroiknya masing-masing. Mereka berdua adalah sosok
sarjana Pendidikan yang bertahan di tempat sunyi demi sebuah pekerjaan,
mencerdaskan kehidupan Bangsa.
Sutisna, memang masih iri dengan guru-guru yang ada di
Kota, rasa itu datang ketika hasratnya melanjutkan pendidikan ke jenjang S2
kembali muncul. Sutisna ingin melanjutkan pendidikan untuk meningkatkan
kemampuan dan karir, Namun mimpinya harus tertunda; medan yang tidak dekat,
serta merasa kasihan pada murid-muridnya, kalau dia harus meninggalkan mereka,
karena kesibukan kuliah.
Kita berharap, Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia
(ISPI), sebagai organisasi sarjana kependidikan menjadi sebuah wadah untuk terus
meningkatkan kemampuan para guru. Kita berharap ISPI terus meningkatkan
perannya, mengingatkan pada pemerintah bahwa pemeretaan guru adalah sebuah
keharusan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
***
PEMBAHASAN
Artikel di atas terdiri dari dua kisah orang Guru yang
bekerja di daerah terpencil. Mereka bernama Pak Ubai dan Pak Sutisna, secara
singkat mungkin mereka terlihat seperti Guru buangan. Mereka di tempatkan pada
daerah pelosok yang begitu minim fasilitas dan jauh dari keramainan kota. Namun
setelah kita buka mata hati kita, terlihatlah perjuangan yang sungguh mengagumkan.
Mereka bekerja berlandaskan ibadah, bukan pendapatan. Dan boleh saya katakan
merekalah “WAKIL-WAKIL RAKYAT YANG
SESUNGGUHNYA”.
Pada paragraph di atas, sudah saya sebutkan bahwa mereka
bekerja dengan “ikhlas dan berlandaskan ibadah”, ini sudah mewakili Sila
Pertama pada Pancasila yang berbunyi ; Ketuhanan yang Maha Esa. Yang artinya,
dengan agama yang mereka anut, mereka percaya bahwa setiap pekerjaan yang
mereka lakukan dengan ikhlas akan dicatat sebagai ibadah. Tidak sedikit cobaan
menghalangi laju merkjuangan mereka dalam rangka mencerdaskan dan membuka
wawasan anak-anak ataupun masyarakat setempat. Contoh saja, ketika di tengah
perjalanan Pak Guru Sutisna mengalami sebuah kebimbangan. Dimana munculnya
hasrat ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Beliau merasa
iri dengan mereka yang ada di kota, sehingga sempatlah hasrat itu
menggebu-gebu. Namun, sungguh mengagumkan..beliau Pak Guru Sutisna lebih
memilih untuk tetap mengajar di daerah tersebut ketimbang melajuntkan
pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Karena beliau tahu, bila beliau
melanjutkan ke S2, maka anak-anak akan ter-telantarkan oleh kesibukan kuliah
yang harus di jalaninya. Disini tergamabar bahwa sudah terjadi pengamalan Sila
ke-2 dan ke-4. Sila ke-2 yang berbunyi ; kemanusiaan yang adil dan beradab.
Yang artinya, beliau ingin tetap memberikan hak kepada mereka(anak-anak dan
masyarakat terpencil) akan pendidikan sebagai wujud keadilan.
Dan
Sila ke-4 yang berbunyi ; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan. Pengamalan Sila ke-4 ini tergambar pada
tindakan mereka yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dari pada
kepentingan diri sendiri.
Lanjut pada Sila ke-3 yang berbunyi ; Persatuan
Indonesia. Karena merekalah(guru-guru di daerah terpencil), sudah banyak
masyarakat pinggiran tahu tentang negaranya, tentang siapa pemimpinnya, apa
yang sedang terjadi pada negaranya dan banyak lagi. Inilah yang membuat
tumbuhnya rasa persatuan, rasa senasib dan sepenanggungan, rasa nasionalisme
dan rasa cinta bangsa dan tanah air. Berkat jasa merekalah, masih banyak
orang-orang yang hidup di perbatasan ataupun daerah pelosok negeri tetap setia pada
NKRI.
         Dan yang terakhir adalah Sila ke-5 yang berbunyi ;
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengamalan Sila ke-5 ini sudah
tergambar begitu jelas oleh pekerjaan yang mereka lakukan, yaitu “melakukan
pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama”. Betapa bermanfaat
nya pekerjaan yang mereka landasi rasa ikhlas itu, tidak seperti yang di
kota-kota, untuk keperluan kenaikan pangkat yang mensyaratkan minimal guru
harus mengajar 24 jam, pihak sekolah memanifulasi data, yang penting tercetak
24 jam dan mata pelajaran sesuai dengan ijazah. 
Langganan:
Komentar (Atom)